KEPUTUSAN PENJATUHAN PIDANA

Jumat, 11 September 2009 |


PENJATUHAN PIDANA
 
Penjatuhan pidana (straftoemeting) merupakan perwu-judan pidana dalam bentuk konkret. Penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana yang bersangkutan. Dalam pemeriksaan perkara pidana ada tiga kemungkinan putusan hakim, kemungkinan yang pertama adalah putusan bebas (vrij spraak), dijatuhkan apabila hasil pemeriksaan sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemungkinan kedua, putusan penglepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolgleging); dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana. Kemungkinan ketiga putusan penjatuhan pidana; dijatuhkan dari hasil pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.
Apabila hakim menjatuhkan putusan penjatuhan pidana, pidana yang dijatuhkan dalam peristiwa konkret tidak harus persis sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan. Atas dasar ancaman pidana tepat yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan itu, hakim dapat menimbang-nimbang penerapan pidana yang dipandang paling tepat dan adil bagi terpidana. Dalam menjatuhkan pidana hakim tetap terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang terbukti dilakukan terpidana. Akan tetapi disamping keterikatan itu, hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya pidana yang dipandang paling adil dan tepat.
Kebebasan hakim untuk memilih berat ringannya pidana terbatas antara minimum umum dan dan maksimum khusus. Maksimum khusus adalah pidana maksimum yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Di damping itu, menurut sistem dalam KUHP, hakim juga mempunyai kebebasan memilih salah satu jenis pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan. KUHP menganut sistemalternatif, sebagai petunjuk antara ancaman pidana yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan kata penghubung “atau”. Misalnya rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP sebagai berikut “Barang siapa karena kealpaan menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”
Berdasarkan rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP ini hakim mempunyai kebebasan memilih salah satu dari tiga pidana yang diancamkan, yaitu penjara atau kurungan atau denda. Sedangkan ketentuan hukum pidana di luar KHUP ada yang menganut sistem kumulatif yaitu emjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus, dan ada pula yang yang menganut sistem alternatif kumulatif artnya hakim boleh memilih salah satu pidana yang diancamkan atau boleh juga menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus. Contoh ketentuan pidana yang menganut sistem komulatif adalah pasal 6 ayat 1a Undang-undang Tindak pidana Ekonomi.
Setiap putusan pengadilan, baik putusan bebas, penglepasan dari segala tuntutan hukum, maupun penjatuhan pidana, harus disertai bahan pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan putusan itu. Keharusan demikian ini tercantum dalam pasal 23 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau suber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Dalam perkara pidana, putusan pengadilan yang berupa, penjatuhan pidana harus disertai pula faktor-faktor yang digunakan untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentuakn dalam pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:


  1. Surat putusan pemidanaan memuat


    1. Kepala putusan dituliskan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.





    2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa,





    3. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan,





    4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.





    5. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.





    6. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.





    7. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.





    8. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana diserta dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.





    9. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.





    10. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atu keterangan dimana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.





    11. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.





    12. Hari dan tanggal putusan, nama peneuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.








  2. Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,j,k, dan l, pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.





  3. Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang.



Keadaan-keadaan yang sebagaimana yang dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang memberatkan dan meringankan terdakwa, tidak ada ketentuannya dalam KUHAP. Oleh karena itu, pedoman untuk mepertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana harus dicari dalam peraturan-peraturan lain, doktrin atau dalam praktek peradilan.
Memorie van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886, memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana sebagai berikut: “Dalam menetukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan objektif dan subjektif dari tindak piana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan danya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang ditimbulkan? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama ke arah jalan yang sesat ataukah merupakan suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak?
Batas antara minimum dan maksimum harus ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan di atas itu dijawab dengan merugikan terdakwa maksimum pidana yang biasa itu dijawab dengan merugikan terdakwa maksimum pidana yang biasa itu sudah mamadai (Soedarto, 1977:55). Pedoman dari Memorie van Toelichting ini dapat pula dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktik peradilan di Indonesia, karena KUHAP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari strafwetboek tahun 1886.
Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan yang merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum dalam pasal 27 ayat 2 undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: ”Dalam mempertimbangkan berat ringanya pidana, hakim wajib memeperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh”. Penjelasan tentang pasal 27 ayat 2 ini berbunyi sebagai berikut: “Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangga, dokter ahli jiwa dan sebagainya. Sayangnya dalam ketentuan ini tidak dapat disertai rincian mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mempertimbangkan berat ringanya pidana.
Dalam menentukan berat ringanya pidana hakim tetap terikat pada ancaman pidana yang disebutkan dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana itu berada diantara batasan minimum dan maksimum khusus. Maksimum khusus merupakan pidana maksimum yang dapat dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan ancaman pidana maksimum yang dicantumkan dalam rumusan tindakan pidana yang dilakukan terpidana. Mengenai hal ini Ruslan Saleh menyatakan, bahwa hakim memiliki kebebasan bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat antara batas maksimum khusus dan minimum umum, akan tetapi kebeasana bergerak itu bukan berarti membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang. Kebebasan itu dimaksudkan untuk meberi kesempatan bagii hakim untuk memperhitungkan seluruh aspek yang berkaitan dengan tindak pidana terjadi, mengenao berta ringanya tindak pidana, keadaan pribadi petindak, usia petindak, tingkat kecerdasan petindak, keadaan serta suasana waktu tindak pidana terjadi (Saleh, 1987:17). Senada dengan pandangan Ruslan Saleh itu, Adji mengemukakan pandangannya bahwa kebebasan hakim itu bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Kebebasan hakim harus dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan sifat dan seriusnya tindak pidana, keadaan-keadaan yang meliputi tindak pidana itu, kepribadian petindak, usianya, tingkat pendidikannya, lingkungannya dan lain sebagainya (Adji 1980:8).
Pedoman-pedoman itu untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana sebagaimana dikemukakan diatas, pada umumnya menghendaki agar pertimbangan-pertimbangan itu meliputi keadaan-keadaan objektif tindak pidana yang dilakukan dan keadaan subjektif petindak. Pedoman untuk mepertimbangkan berat ringanya pidana itu amat penting bagi hakim, sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana secara lebih memadai dan sejauh mungkin dapat dihindari diskresi penjatuhan pidana. Oleh karena itu, kiranya baik sekali apabila dalam KUHAP dicantumkan rumusan tentang pedoman pemidanaan. Dalam KUHAP kita yang akan datang tampaknya akan dicantumkan suatu pasal tentang pedoman pemidanaan. Dalam konsep rancangan KUHAP yang disusun Tim Penyusun Rancangan KUHAP Tahun 1991/1992 terdapat ketentuan tentang pedoman pemidanaan yang tercantum dalam pasal 52 sebagai berikut:
Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:
Ke-1 kesalahan pembuat
Ke-2 motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
Ke-3 cara melakukan tindak pidana
Ke-4 sikap batin pembuat
Ke-5 riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat
Ke-6 sikap dan tindak pembuat sesudah melakukan tindak pidana
Ke-7 pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat
Ke-8 pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
Ke-9 pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
Ke-10 apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana
Rincian pedoman tersebut tidak bersifat limitatif. Hakim masih dimukinkan menambah pertimbangan-pertimbangan lain apabila dipandang perlu. Namun apabila hakim telah memperhatikan rincian pedoman tersebut, berarti semua kepentingan yang terkait mendapatka perhatian yang wajar, sehingga penjatuhan pidana yang dilakukan lebih proposional. Kepentingan yang terkait atas terjadinya tindak pidana, sekurang-kurangnya kepentingan terpidana sendiri, kepentingan korban dan kepentingan masyarakat.



1 komentar:

Mekar Paian Sinurat mengatakan...

wahh tks bangat,
akhirnya dapat juga bahan ini.
Semoga ilmunya berguna untuk orang lain

Posting Komentar

iklan baris


Your Name
Your Email Address
Subject
Message
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image:
[ Refresh Image ] [ What's This? ]